Senin, 01 Februari 2016

CONVERSE GRACIAS

Pengalaman terburuk dan terbahagia

Edisi sejarah Indonesia

Cerita sederhana dari santri pondok pesantren.
Angkatan tujuh, Converse Gracias.


Angkatan dengan berjuta cerita. Karena kami terkenal dengan kenakalan kami, dan labeling angkatan ternakal sangat melekat pada angkatan kami. Lumrah bagi kami bila diceramahi guru-guru tentang masalah pelanggaran, senioritas, asrama, dan lainnya. Tetapi kami tahu mereka masih ada di sisi kami, masih menyayangi kami, hingga “hari-hari sulit” itu tiba.
Sangat terekam dalam ingatanku. 18 November 2014. Kami menyebutnya Tragedi18.
Pagi itu kami memulai hari dengan kedamaian, memulai sekolah dengan membereskan kamar, sarapan, berangkat sekolah, seperti hari-hari biasanya. Saat pelajaran usai istirahat pertama, ada salah seorang teman kami mengatakan jam terakhir pembelajaran ditiadakan. Tentu saja kami bersorak riang mengetahui hal tersebut, tetapi ada sesuatu yang menjanggal, karena pemberitahuannya sangat mendadak dan biasanya tidak secuma-cuma itu sekolah memberikan “jamkos” masal di hari KBM normal. Kami diperintah untuk menuju hall di jam terakhir nanti. Kami mengira akan diadakan briefing rekreasi atau praUN, tetapi kenyataannya berbeda.
Kami bingung. Hampir semua guru hadir, termasuk bapak kepala sekolah, Ustadz Azis. Guru kedisiplinan, kesiswaan, dan guru psikologi memulai pembicaraan. Arah pembicaraan dimulai dengan ungkapan kekecewaan inilah, itulah, dan akhirnya masuk ke pembicaraan utama.
“Ustadzah kecewa, ternyata selama ini hati kalian yang keras dan tidak mau menerima nasihat itu karena bacaan dan gambar-gambar yang tidak layak ini. Kalian itu masih SMP, nak………” kata Bu Yuni sambil menunjukkan komik dengan kategori “dewasa” yang ditemukan usatadzah asrama saat kamar kami digeledah.
Tumpukan novel-novel dengan genre romansa mulai diletakkan di hadapan kami. Kami merasa seperti orang-orang paling hina. Novel-novel dan komik-komik itu mulai deiperlihatkan kepada  guru-guru lain dan mulai dirobek-robek di hadapan kami seangkatan. Ya, novel-novel yang tidak jelas kehalalannya berada di pondok kami.
Kemarahan guru-guru mulai memuncak saat salah seorang ustadzah asrama menceritakan sebab utama kami dikumpulkan di hall, sebenarnya bukan karena novel-novel dan komik-komik itu.
Beliau bercerita. Saat mengecek kebersihan kamar, beliau iseng memeriksa kasur dan barang-barang di bawah bantal. Di salah satu kasur, terdapat catatan lusuh dibalik bantal. Beliau mulai membacanya dan hatinya mulai meringis. Tidak sepantasnya anak seumuran kami menulis hal semacam itu. “Fan fiction” yang kategorinya 17+, dan salah satu teman kami menceritakan detailnya. Beliau menekankan bahwa kertasnya sudah lusuh, dan kemungkinan besar itu sudah berpindah tangan ke banyak orang dan tanggal yang tertera menunjukan tulisannya sudah ditulis beberapa bulan yang lalu.
Memang hampir semua orang membacanya, termasuk saya sendiri. Dan kami tidak punya pemikiran tulisan itu akan menjadi seperti ini. Saat itu hamper semua orang yang ada di hall menangis, termasuk guru-guru dan kepala sekolahku. Beliau mulai berbicara dan mengatakan satu hal yang terngiang hingga sekarang.
“Saya belum pernah menangis di hadapan manusia banyak, kecuali saat ini, nak……..”
Kami merasa seakan-akan kami adalah makhluk terkotor di dunia. Memang, membaca bacaan yang tidak sesuai umur bukanlah adab penuntut ilmu apalagi bagi santri. Dan akhirnya guru-guru telah membuat keputusan. Mendiamkan kami sampai kami berubah menjadi lebih baik. Diasingkan dri sekolah. Bagi mereka, sudah segala cara mereka upayakan agar kami menjadi anak-anak baik, dan ini cara terakhir yang bias mereka lakukan. Mengabaikan kami.
Sore hari. Tidak ada guru yang mau kami salami. Biasanya kami kabur memutar jalan agar menghindari salim ke guru dan mendapat “omelan” yang menjengkelkan. Tapi sekarang, tak ada guru yang menerima jabatan tangan kami. Bila ada, wajahnya tak sedikitpun melihat kea rah kami. Baru tadi siang kami menangis-nangis tanpa henti di hall, sorenya sudah tak ada yang memedulikan kami. Kami benar-benar tak punya siapa-siapa lagi di pihak kami. Sendiri. Seangkatan.
Malam harinya, kami melakukan evaluasi bersama. Mendiskusikan apa yang harus dilakukan ke depannya. Mulai dari mengadakan program tahajjud masal, keluar asrama di pagi hari 10menit sebelum angkatan lainnya, tidak telat shoat ke masjid, dan..
“Rek, mulai malem ini, aku sama Jesse mau ngumpulin novel, buku, majalah semuanya, syar’I gak syar’i. ntar yang udah jelas gak syar’I kita bakar di lapangan. Aku udah bujuk Pak Shuu buat bantuin proses bakar-bakarnya. Jujur ya, rek. Jangan sampe ada bacaan yang tersisa di asrama,” kata Ati.
Besok paginya, guru-guru tidak hadir di kegiatan KBM. Ada guru yang mengajar, tetapi tidak salam, tidak mengajar, hanya duduk, dan beranjak saat jam pelajaran habis. Dan saat pelajaran Pak Shuu, wali kelas 8B, wali kelas saya, kami kembali menangis lebih dari yang kemarin. Pak Shuu guru yang paling kami sayangi di angkatan. Ungkapan kekecewaan beliau terlalu menyakitkan untuk didengar. Apalagi saat beliau menyebut nama kami satu-satu, mengomentari kami dengan majas “ironi”, semuanya terasa berat untuk didengar. Bahkan teman kami yang paling cuek bebek pun menangis mendengarnya. Entahlah. Setiap saat kami menangis.
Pembakaran buku. Herannya, masih saja banyak anak “otaku” yang tidak ikhlas komik mereka dibakar. Ya, kami tahu mereka sangat berkorban demi komik-komik itu. Menabung, berhemat, semua demi itu. Tetapi beginilah keadaannya. Kami harus merelakan semuanya. Poster-poster idola, novel, ff, semuanya hangus di malam itu. Kami mulai menenangkan sebagian lain yang belum rela barang-barangnya hangus seketika. Tapi itulah pengorbanan demi angkatan. Keluarga kedua kita.
Hari-hari itu begitu terasa sulit. Lebih sulit dibandingkan saat kami pertama masuk pondok ini. Lebih sulit daripada berpisah pertama kali dengan orang tua. Sulit sekali rasanya untuk pergi ke sekolah, menganggap tak aka nada guru yang menyambut. Tetapi jika kami tidak pergi sekolah, bukankah guru-guru akan semakin menganggap kita buruk? Mungkin kami bias lulus. Tapi tidak bias lulus begini. Lulus tanpa ridho guru-guru kami.
Setiap hari, makin banyak perubahan yng kami alami, makin banyak guru yang mulai melihat kami, menerima salam kami, dll. Sudah beribu kali atau bahakan lebih kami mengucapkan maaf  ke semua guru. Sudah sepenuh tenaga kami berusaha bangun lebih pagi, berangkat ke masjid lebih cepat, mendapat 3 shaf pertama setiap sholat. Ya, itulah perjuangan.
Satu per satu guru mulai memaafkan kami. Rasanya bagai mendapatkan kembali orang tua yang telah hilang dari dunia. Akhirnya, kami dikumulkan kembali di mega hall dan membuat komitmen-komitmen angkatan. Perjanjiannya, jika kami melanggar 16 komitmen yang kami buat, guru-guru tidak akan menganggap kami sedikit pun. Sampai lulus nanti. Senyuman semangat mulai terpancar dari wajah kami. Semangat untuk lulus dengan akhlaqul karimah. Membuat guru-guru kami menjadi orang paling bahagia di dunia melihat kesuksesan kami. Dan perjalanan kami yang sebnarnya baru terasa.

Di pondok kami, angkatan ganjil selalu memeroleh peringkat 2 untuk UN di tingkat kota, sedangkan angkatan genap selalu memeroleh peringkat pertama. Dari angkatan pertama sampai angkatan keenam seperti itu. Kami angakatan ketujuh berjanji akan mematahkan mitos yang selalu menghantui kami, yang selalu diungkit-ungkit semua guru, yang selalu menjadi sakral.

Waktu terasa begitu cepat. Akhirnya pengumuman hasil ujian nasional tiba. Begitu bahagianya saat mengetahui sekolah kami mendapat rata-rata terbaik dan memecahkan rekor enam tahun. Lebih bahagia lagi ketika kami tahu, kami bias mematahkan mitos itu. Salah satu teman kami meraih peringkat pertama di tingkat kota, meskipunkami angkatan ganjil. Guru-guru dan terutama kepala sekolah terlihat sangat senang engan prestasi kami. Akhirnya kami dapat membuktikan, Converse Gracias bukanlah angkatan biasa. Masa-masa berjuang bersama angkatan tujuh merupakan hal yang sangat membahagiakan. Dan lebih bahagia lagi saat kesuksesan itu kami dapatkan. Akhirnya.
Wisuda. Setiap pertemuan pasti ada perpisahan. tetaplah menjadi Converse Gracias. Saudaraku yang tak pernah kulupakan. Saudaraku yang paling kusayangi. ayo kita sukses bersama kembeli, seperti layaknya dulu...

1 komentar: