Negara Indonesia memang sangat kaya akan budaya, tradisi dan ada istiadat, tidak terkecuali tradisi dalam rangka melaksanakan rangkaian ibadah selama bulan Ramadhan sampai dengan perayaan Lebaran atau Hari Raya Idul Fitri. Masing-masing daerah (etnis) memiliki tradisi yang berbeda-beda, dikemas secara khusus dalam suatu tradisi perayaan hari kemenangan setelah berpuasa menahan diri selama sebulan penuh di bulan Ramadhan. Ada sebagian wilayah yang merayakannya di hari H setelah melakukan sholat Hari Raya, dan ada pula yang merayakannya secara biasa-biasa saja, namun mempunya tradisi yang dikemas lebih meriah di hari lain.
Agama Islam mengajarkan bahwa ada keutamaan bagi orang orang yang melanjutkan puasa seminggu setelah puasa Ramadan yang biasa disebut sebagai puasa Syawal. Untuk mensyukuri berakhirnya puasa sunah tersebut, warga masyarakat di Lombok melaksanakan lebaran kedua setelah Idul Fitri yang disebut dengan nama Lebaran Ketupat atau Lebaran Topat. Kata “topat” diambil dari kata ketupat, yakni penganan masyarakat Lombok dihidangkan khusus pada perayaan Lebaran Ketupat.
Tradisi Lebaran Ketupat di Lombok berlangsung turun-temurun semenjak ratusan tahun lalu. Selain dianggap sebagai rangkaian kegiatan untuk merayakan Idul Fitri, acara tersebut juga memiliki misi mempertahankan tradisi leluhur dan nenek moyang. Jika dikaji lebih mendalam, akan dijumpai banyak nilai-nilai yang terkandung dalam Lebaran Nine (wanita). Mulai dari nilai budaya, agama, hingga pesta kerakyatan.
Dari aspek agama misalnya, masyarakat / warga Sasak melaksanakan Perayaan Lebaran Ketupat dengan melakukan kegiatan-kegiatan ritual Keagamaan. Diantaranya adalah berziarah ke makam para wali /ulama terkenal yang telah berjasa membawa agama Islam ke Pulau Lombok. Di Kota Mataram, masyarakat biasanya akan datang merayakan Tradisi Lebaran Ketupat ke dua tempat bersejarah, yaitu Makam Bintaro dan Makam Loang Baloq di Tanjung Karang.
Tradisi Lebaran Ketupat di Lombok berlangsung turun-temurun semenjak ratusan tahun lalu. Selain dianggap sebagai rangkaian kegiatan untuk merayakan Idul Fitri, acara tersebut juga memiliki misi mempertahankan tradisi leluhur dan nenek moyang. Jika dikaji lebih mendalam, akan dijumpai banyak nilai-nilai yang terkandung dalam Lebaran Nine (wanita). Mulai dari nilai budaya, agama, hingga pesta kerakyatan.
Dari aspek agama misalnya, masyarakat / warga Sasak melaksanakan Perayaan Lebaran Ketupat dengan melakukan kegiatan-kegiatan ritual Keagamaan. Diantaranya adalah berziarah ke makam para wali /ulama terkenal yang telah berjasa membawa agama Islam ke Pulau Lombok. Di Kota Mataram, masyarakat biasanya akan datang merayakan Tradisi Lebaran Ketupat ke dua tempat bersejarah, yaitu Makam Bintaro dan Makam Loang Baloq di Tanjung Karang.
Pada kegiatan perayaan Lebaran Ketupat, Makam Loang Baloq yang berlokasi tepat di sebelah Pantai Tanjung Karang Mapak akan penuh sesak oleh peziarah sejak pukul 07.00 pagi. Selain memanjatkan doa, mereka juga berebutan untuk mencuci muka dan kepala dengan air di atas makam yang dianggap keramat tersebut. Sama halnya dengan situasi yang berlangsung di Makam Bintaro, dalam ziarah kubur, para peziarah sejatinya tidak hanya memanjatkan doa kepada sang Khalik, namun juga melakukan berbagai macam ritual keagamaan dan atraksi simbolik perayaan Tradisi Lebaran Ketupat. Diantaranya adalah mencukur rambut bayi yang biasa disebut ngurisan. Tradisi ini diyakini akan menjadikan anak tersebut anak yang saleh dan sukses di masa yang akan datang.
Tidak hanya sebatas itu, perayaan Lebaran Ketupat tersebut juga disebut menjadi haul bagi mereka yang telah mencapai kesuksesan atau rezeki yang lebih dalam hidupnya. Untuk mensyukuri nikmat Tuhan tersebut, mereka datang dengan membawa perbekalan berupa makanan berupa ketupat, pelalah ayam, daging, opor telur, pakis, paku, urap-urap, dan pelecing kangkung yang kemudian dimakan beramai-ramai di area / halaman makam.
Setelah selesai berziarah ke Makam, para pengunjung lalu berpindah ke jalur pantai, mulai Pantai Bintaro hingga ke Pantai Tanjung Karang. Menyusuri tepi pantai sambil membawa hidangan ketupat yang diramu dan dibumbui dengan bahan-bahan segar ala Pulau Lombok menjadikan tradisi Lebaran Ketupat ini menjadi terlihat unik, ditambah lagi dengan berbagai pertunjukan musik tradisional yang diselenggarakan oleh Pemerintah dalam rangka upaya pelestarian budaya dan Tradisi.
Jika di Madura Perayaan Lebaran / Hari Raya Idul Adha Lebih meriah dibandingkan dengan perayaan Lebaran Idul Fitri, maka di Lombok memiliki tradisi unik yang dilakukan oleh hampir 90% masyarakat Lombok. Tradisi unik yang dilaksanakan 6 hari setelah perayaan Hari Raya Idul Fitri itu disebut sebagai Perayaan Lebaran Ketupat atau Lebaran Topat.
Di Lombok juga terdapat banyak sekali wisata budaya, diantaranya adalah “TRADISI PERANG TOPAT” yang merupakan tradisi turun temurun yang mulai dilakukan sepeninggal penjajahan Bali di Lombok di masa lampau. Tradisi ini di lakukan dengan cara saling lempar dengan menggunakan ketupat antara Ummat Islam dan Ummat Hindu Lombok. Dengan menggunakan pakaian adat khas Sasak dan Bali ribuan warga Sasak dan umat Hindu bersama-sama dengan damai merayakan upacara keagamaan yang dirayakan tiap tahun di Pura Lingsar, Kecamatan Lingsar, Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat.
Tradisi Perang Topat yang diadakan di Pura terbesar di Lombok (peninggalan kerajaan Karangasem) ini merupakan pencerminan dari kerukunan umat beragama di Lombok. Prosesi Perang Topat dimulai dengan mengelilingkan sesaji berupa makanan, buah, dan sejumlah hasil bumi sebagai sarana persembahyangan dan prosesi ini didominasi masyarakat Sasak dan beberapa tokoh umat Hindu yang ada di Lombok. Sarana persembahyangan seperti kebon odek, sesaji ditempatkan didalam Pura Kemalik.
Prosesi kemudian dilanjutkan dengan perang topat, bertepatan dengan gugur bunga waru atau dalam bahasa Sasaknya “rorok kembang waru” yakni menjelang tenggelamnya sinar matahari sekitar pukul 17.30. Perang topat merupakan rangkaian pelaksanaan upacara pujawali yaitu upacara sebagai ungkapan rasa syukur umat manusia yang telah diberikan keselamatan, sekaligus memohon berkah kepada Sang Pencipta.
Tradisi Perang Topat yang diadakan di Pura terbesar di Lombok (peninggalan kerajaan Karangasem) ini merupakan pencerminan dari kerukunan umat beragama di Lombok. Prosesi Perang Topat dimulai dengan mengelilingkan sesaji berupa makanan, buah, dan sejumlah hasil bumi sebagai sarana persembahyangan dan prosesi ini didominasi masyarakat Sasak dan beberapa tokoh umat Hindu yang ada di Lombok. Sarana persembahyangan seperti kebon odek, sesaji ditempatkan didalam Pura Kemalik.
Prosesi kemudian dilanjutkan dengan perang topat, bertepatan dengan gugur bunga waru atau dalam bahasa Sasaknya “rorok kembang waru” yakni menjelang tenggelamnya sinar matahari sekitar pukul 17.30. Perang topat merupakan rangkaian pelaksanaan upacara pujawali yaitu upacara sebagai ungkapan rasa syukur umat manusia yang telah diberikan keselamatan, sekaligus memohon berkah kepada Sang Pencipta.
Dalam perayaan Lebaran Topat di Lombok, Nusa Tenggara Barat, kita dapat mengetahui bahwa perayaan tersebut mengandung dua dimensi yaitu dimensi sakral dan sosial. Dimensi sakral berkaitan dengan persepsi dan pengharapan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dan dimensi sosial berkaitan dengan upaya menjaga harmoni kehidupan antar sesama.
Penggunaan ungkapan Lebaran Nine atau lebaran wanita terhadap Lebaran Topat menunjukkan bahwa Lebaran ini mempunyai posisi penting dalam ekspresi keislaman masyarakat Lombok. Lebaran Topat adalah pasangan Lebaran Mame (Idul Fitri). Oleh karena itu, perayaan Lebaran Topat agaknya mempunyai tujuan yang sama dengan Lebaran puasa Ramadhan. Yaitu untuk mencapai kehidupan yang fitri, suci.
Penggunaan ketupat yang berbentuk segi empat sebagai nama Lebaran dan menu makan utamanya merupakan khasanah kearifan lokal masyarakat untuk mengingatkan manusia terhadap asal muasalnya. Ketupat berbentuk segi empat menunjukkan bahwa manusia terdiri dari air, tanah, api dan angin.
Lebaran Topat juga bisa diartikan menjauhkan diri dari nafsu kebendaan dan membersihkan batin dari sikap dengki dan iri hati setelah nuraninya terjerembab oleh ego dan kemeriahan budaya materi yang semu. Ritual berseraup atau membasuh muka dengan air memberi makna bahwa tindakan tersebut merupakan cara untuk membersihkan kotoran yang melekat di wajah. Jika wajah dan hatinya bersih, maka orang itu tidak akan sakit baik secara fisik ataupun mental.
Mengambil air di Lingkok Mas mempunyai arti bahwa air laksana emas yang mahal harganya dan sangat penting bagi kehidupan manusia. Oleh karena itu, air harus dijaga kebersihannya supaya tidak tercemar oleh bermacam limbah yang dapat menyebabkan makhluk hidup menjadi sakit, dan tanaman tidak bisa tumbuh dan berkembang. Sedangkan kegiatan besambek bertujuan agar manusia tenang menjalani kehidupan, alam pikiran tetap jernih, terbebas dari segala macam gangguan (jin dan setan) termasuk untuk mendapatkan rezeki yang halal. Sebagaimana disebutkan dalam pepatah Sasak :
Manis-manis buak ara
Pedis-pedis rasen nasi
Manis rasanya si buah ara
Kecut-kecut rasanya nasi
Pepatah di atas mengandung pesan bahwa menyantap makanan hasil keringat sendiri terasa lebih nikmat, ketimbang disuguhkan makanan yang lezat namun didapat dengan cara yang tidak halal.
Selain itu, Lebaran Topat juga dapat menjadi otokritik dan introspeksi bagi manusia untuk mengenal kembali jati dirinya setelah menempuh perjalanan hidup selama satu tahun, yang banyak diwarnai dengan dosa individual dan dosa sosial. Pepatah Sasak mengatakan “dendek ipuh pantok gong” (tak usah segan memukul/membunyikan gong). Pepatah tersebut mengingatkan manusia agar mengoreksi diri, di antaranya terbuka terhadap saran dan kritik orang lain. Selain itu, acara makan ketupat bersama-sama menunjukkan masih terpeliharanya nilai-nilai kebersamaan di antara mereka.
Namun demikian, banyaknya potensi yang terkandung dalam perayaan Lebaran Topat, khususnya aspek ekonominya, harus disikapi secara bijaksana. Kesalahan dalam menyikapinya, tidak mustahil akan menghilangkan nilai-nilai luhur yang terkandung didalamnya sehingga kegiatan ritual ini hanya akan menjadi pesta rakyat yang kehilangan ruhnya.
Namun demikian, banyaknya potensi yang terkandung dalam perayaan Lebaran Topat, khususnya aspek ekonominya, harus disikapi secara bijaksana. Kesalahan dalam menyikapinya, tidak mustahil akan menghilangkan nilai-nilai luhur yang terkandung didalamnya sehingga kegiatan ritual ini hanya akan menjadi pesta rakyat yang kehilangan ruhnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar